Haus Wawasan -Sahabat Pencari Ilmu, Yuk kita belajar tentang
HARI PEMBERONTAKAN PETA 14 FEBRUARI 1945
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”, rasa rasanya kata kata itu tidak lagi dapat menjadi cerminan dari bangsa kita. 14 Februari telah menjadi hari yang sangat bersejarah untuk bangsa kita, tetapi apakah itu disadari oleh bangsa kita? Hari yang bersejarah itu seakan terlupakan oelh ramainya pemberitaan tentang Hari Kasih Sayang (Valentine) yang merupakan bukan budaya dari bangsa kita sendiri. Bahkan para calon penerus bangsa pun belum tentu tahu akan hari ini. Jika ditanya tentang ada apa hari ini mereka pasti akan lebih menjawab pertanyaan tersebut dengan kata kata bahwa hari ini adalah Hari Valentine. Inilah buruknya Globalisasi, jika kita tidak dapat memilah dan memilih budaya kita sendiri, mungkinkah bangsa kita akan menjadi bangsa yang besar jika sejarah yang penting seperti hari ini saja dilupakan dan lebih membahas tentang hari valentine yang notabenenya adalah budaya BARAT.
14 Februari dicatat dalam sejarah bangsa kita sebagai salah satu hari yang penting dalam proses mencapai kemerdakaan bangsa kita. Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) di Kota Blitar pada tahun 1945 yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi. PETA (singkatan dari “Pembela Tanah Air”) adalah bentukan junta militer pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober 1943. Jepang merekrut para pemuda Indonesia untuk dijadikan sebagai tentara teritorial guna mempertahankan Pulau Jawa, Bali, dan Sumatera jika pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, Australia, Belanda, dkk.) tiba. Tentara-tentara PETA mendapatkan pelatihan militer dari tentara Kekaisaran Jepang, tetapi berbeda dengan tentara-tentara HEIHO yang ikut bertempur bersama tentara-tentara Jepang di berbagai medan tempur Asia seperti Myanmar, Thailand, dan Filipina. Tentara PETA belum pernah mengalami pengalaman tempur.
Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, dan rekan-rekannya adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor. Mereka lantas dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar.
Nurani para komandan muda itu tersentuh dan tersentak melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagaikan budak oleh tentara Jepang. Kondisi Romusha, yakni orang-orang yang dikerahkan untuk bekerja paksa membangun benteng-benteng di pantai sangat menyedihkan. Banyak yang tewas akibat kelaparan dan terkena berbagai macam penyakit tanpa diobati sama sekali. Para prajurit PETA juga geram melihat kelakuan tentara-tentara Jepang yang suka melecehkan harkat dan martabat wanita-wanita Indonesia. Para wanita ini pada awalnya dijanjikan akan mendapatkan pendidikan di Jakarta, namun ternyata malah menjadi pemuas nafsu seksual para tentara Jepang. Selain itu, ada aturan yang mewajibkan tentara PETA memberi hormat kepada serdadu Jepang, walaupun pangkat prajurit Jepang itu lebih rendah daripada anggota PETA. Harga diri para perwira PETA pun terusik dan terhina.
Dalam buku “Tentara Gemblengan Jepang” yang ditulis oleh Joyce L. Lebra dan diterjemahkan oleh Pustaka Sinar Harapan pada tahun 1988, dibeberkan persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Shodancho Supriyadi dan para shodancho lain.
Pertemuan-pertemuan rahasia sudah digelar sejak bulan September 1944. Shodancho Supriyadi merencanakan aksi itu bukan hanya sebagai pemberontakan, tetapi juga sebuah revolusi menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Para pemberontak PETA tersebut menghubungi komandan-komandan batalyon di berbagai wilayah lain untuk bersama-sama mengangkat senjata dan menggalang kekuatan rakyat.
Tanggal 14 Februari 1945 kemudian dipilih sebagai waktu yang tepat untuk melaksanakan pemberontakan, karena saat itu akan ada pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga diharapkan anggota-anggota PETA yang lain akan ikut bergabung dalam aksi perlawanan. Tujuannya adalah untuk menguasai Kota Blitar dan mengobarkan semangat pemberontakan di daerah-daerah lain.
Walaupun rencana pemberontakan telah dipersiapkan secara baik, akan tetapi terjadi hal yang tidak diduga. Tiba-tiba pimpinan tentara Kekaisaran Jepang memutuskan membatalkan pertemuan besar seluruh anggota dan komandan PETA di Blitar. Selain itu, Kempetai (polisi rahasia Jepang) ternyata sudah mencium rencana aksi Shodancho Supriyadi dan kawan-kawan. Supriyadi pun cemas dan khawatir mereka ditangkap sebelum aksi dimulai.
Shodancho Supriyadi beserta para komandan dan anggota PETA di Blitar juga dihadapkan pada posisi sulit. Apabila terus melanjutkan perlawanan, mereka akan kalah karena jumlah mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan jumlah tentara Kekaisaran Jepang. Namun, jika perlawanan dibatalkan pun tentara Kekaisaran Jepang sudah mengetahui rencana aksi mereka, sehingga kemungkinan besar para pemberontak akan ditangkap, lalu dijatuhi hukuman yang sangat berat, yakni hukuman mati.
Sebenarnya, banyak yang menilai rencana aksi pemberontakan PETA belum siap, salah satunya Sukarno. Dalam perbincangan yang berlangsung cukup seru, Bung Karno sempat meminta Shodancho Supriyadi dan para perwira PETA yang lain siap memikul tanggung jawab maupun akibat apabila aksi pemberontakan PETA ternyata gagal total.
Alkisah, ketika Sukarno pulang ke Blitar – kota lokasi rumahnya dan tempat tinggal orangtuanya -, datanglah beberapa perwira PETA menemuinya. “Kami sudah merencakan pemberontakan, tetapi kami ingin tahu pendapat Bung Karno sendiri,” ujar Shodancho Supriyadi, Pemimpin Perwira PETA yang menemui Bung Karno. Sukarno begitu lama terdiam, sampai akhirnya Shodancho Supriyadi menegaskan, “Kita akan berhasil!”
Sukarno akhirnya mengeluarkan pendapatnya. “Pertimbangkanlah masak-masak. Pertimbangkan untung dan ruginya,” ujar Bung Karno. Masih dengan nada suara tertekan karena hati kecilnya tidak setuju langkah Supriyadi dan kawan-kawan, Sukarno melanjutkan, “Saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan pemberontakan tidak hanya dari satu segi.” Shodancho Supriyadi pun menimpali pendapat Bung Karno dengan penuh semangat, “Saya menjamin. Kita akan berhasil!”.
“Saya berpendapat, saudara-saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang,” tegas Bung Karno yang kembali mengutarakan pendapatnya. Usai bertutur kata, Bung Karno kemudian memandangi wajah-wajah para pemuda yang penuh semangat dan berani menyabung nyawa demi Indonesia merdeka. Bung Karno sadar betul bahwa tidak akan ada yang bisa menghalang-halangi tujuan para pemuda tersebut sedikit pun. Oleh karena itu, Bung Karno lantas menyatakan, “Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaknya sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak mati saudara-saudara semua.”
“Apakah Bung Karno tidak bisa membela kami?”, tanya seorang pemuda. “Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumannya otomatis,” jawab Bung Karno seraya menambahkan bahwa kalau sekiranya mereka tetap bertekad bulat hendak memberontak, Bung Karno tidak lagi melarang. Jika perlu, Bung Karno akan ikut membuat rancangan pemberontakan. Akan tetapi, Bung Karno juga harus tetap menjaga hubungan dengan pemerintahan Jepang di Jakarta, yang sedang intens digarap Sukarno dan para tokoh pergerakan lain seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir dalam rangka menuju kemerdekaan Indonesia pada masa transisi tahun 1945.
Bung Karno dan Supriyadi |
Tanggal 13 Februari 1945 malam hari, Shodancho Supriyadi memutuskan bahwa pemberontakan tetap harus dilaksanakan. Siap atau tidak siap, inilah saatnya tentara PETA membalas perlakuan tentara Jepang. Shodancho Supriyadi juga berharap bahwa pengorbanan darah dan nyawa para pemberontak PETA akan mengobarkan semangat perjuangan segenap bangsa Indonesia menuju kemerdekaan, meskipun semua orang sudah tahu mereka akan kalah menghadapi tentara Kekaisaran Jepang.
Tidak semua anggota Daidan Blitar ikut memberontak. Shodancho Supriyadi meminta para pemberontak tidak menyakiti sesama anggota PETA walaupun tak mau memberontak. Akan tetapi, semua orang Jepang wajib dibunuh.
Tepat tanggal 14 Februari 1945 dini hari pukul 03.00 WIB, pasukan PETA pimpinan Shodancho Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira militer Kekaisaran Jepang. Markas Kempetai juga ditembaki senapan mesin. Akan tetapi ternyata kedua bangunan tersebut sudah dikosongkan, karena pihak Jepang telah mencium rencana aksi pemberontakan PETA. Dalam aksi yang lain, salah seorang bhudancho (bintara) PETA merobek poster bertuliskan “Indonesia Akan Merdeka” dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka!”.
Aksi Shodancho Supriyadi Memimpin Pemberontakan PETA dalam Diorama Museum PETA Kota Bogor |
Pemberontakan PETA sendiri akhirnya tidak berjalan sesuai rencana. Shodancho Supriyadi gagal menggerakkan satuan lain untuk memberontak dan rencana pemberontakan ini pun terbukti telah diketahui oleh pihak Jepang. Dalam waktu singkat, Jepang mengirimkan pasukan militer untuk memadamkan pemberontakan PETA. Para pemberontak pun terdesak. Difasilitasi oleh Dinas Propaganda Jepang, Kolonel Katagiri menemui Shodancho Muradi, salah satu pentolan pemberontak, dan meminta seluruh pasukan pemberontak kembali ke markas batalyon.
Shodancho Muradi mengajukan syarat kepada Kolonel Katagiri, yakni:
1. Senjata para pemberontak tidak boleh dilucuti Jepang; dan
2. Para pemberontak tidak boleh diperiksa atau diadili Jepang.
Kolonel Katagiri pun setuju. Dia memberikan pedangnya sebagai jaminan. Ini adalah isyarat janji seorang samurai yang harus ditepati. Akan tetapi, janji Katagiri ternyata tidak bisa diterima oleh Komandan Tentara Jepang XVI. Mereka malah mengirim Kempetai untuk mengusut pemberontakan PETA. Jepang pun melanggar janjinya.
Sebanyak 78 orang perwira dan prajurit PETA dari Blitar akhirnya ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara untuk kemudian diadili di Jakarta. Sebanyak enam orang divonis hukuman mati di Ancol pada tanggal 16 Mei 1945, enam orang dipenjara seumur hidup, dan sisanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan.
Persidangan Mahkamah Militer Jepang Terhadap Tentara Anggota Pemberontakan PETA Tahun 1945 |
Akan tetapi, nasib Shodancho Supriyadi tidak diketahui. Shodancho Supriyadi menghilang secara misterius tanpa ada seorang pun yang mengetahui kabarnya. Sebagian orang meyakini Shodancho Supriyadi tewas di tangan tentara Jepang dalam pertempuran. Sebagian orang juga ada yang meyakini Shodancho Supriyadi tewas diterkam binatang buas di hutan-hutan sekitar Kota Blitar. Sebagian orang pun ada yang meyakini Shodancho Supriyadi melakukan ritual dengan cara menceburkan dirinya ke dalam kawah Gunung Kelud dekat Kota Blitar. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa Shodancho Supriyadi sesungguhnya masih hidup hingga saat ini, hanya saja keberadaannya tidak diketahui atau sering hidup di alam ghaib. Namun satu hal yang pasti, hilangnya Shodancho Supriyadi adalah suatu misteri sejarah nasional Indonesia yang belum jelas hingga saat ini.
Setelah Indonesia merdeka, Shodancho Supriyadi diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia yang pertama. Namun, Supriyadi ternyata tidak pernah muncul lagi untuk selama-lamanya, hingga saat pelantikan para menteri. Kemudian, saat para menteri dilantik oleh Presiden Soekarno, tertulis “Menteri Pertahanan belum diangkat”. Akhirnya, karena Supriyadi benar-benar tidak muncul lagi, Presiden Soekarno pun mengangkat dan melantik Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia pun mengakui jasa-jasa Supriyadi dan akhirnya mengangkatnya sebagai salah satu pelopor kemerdekaan serta sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Patung Shodancho Supriyadi di Museum PETA Kota Bogor |
Untuk mengenang perjuangan pemberontakan tentara PETA pimpinan Shodancho Supriyadi, tepat di lokasi perlawanan didirikan Monumen PETA yang terdiri atas tujuh buah patung tentara PETA dalam posisi siap menyerang, di mana patung Shodancho Supriyadi diletakkan tepat di tengah monumen sebagai pemimpin pemberontakan PETA.
Monumen Pemberontakan PETA Pimpinan Shodancho Supriyadi di Kota Blitar |
Asrama militer PETA di Kota Blitar sendiri kini telah menjadi sekolah SMP dan SMA Negeri. Namun, jika dilihat secara seksama bentuk bangunannya, pasti langsung terlihat kesan itu merupakan bangunan bekas asrama militer. Adapun tugu tempat pengibaran bendera merah-putih oleh Shodancho Parto Hardjono saat terjadinya pemberontakan PETA kini dikenal sebagai “Monumen Potlot”. Monumen Potlot sendiri diresmikan di Kota Blitar pada tahun 1946 oleh Bapak TNI (Tentara Nasional Indonesia) Panglima Jenderal Besar Soedirman.
SUMBER :
Terimakasih telah membaca Artikel tentang HARI PEMBERONTAKAN PETA 14 FEBRUARI 1945 semoga bermanfaat, Silahkan di Share yaaa!!!